Tahun 2015 dunia pendidikan
kita sarat dengan cerita duka, bahkan mendung masih menggelayut di
penghujung tahun ini, karena berbagai persoalan pendidikan datang silih
berganti, mungkin memberi irama, tapi sumbang, mungkin memberi warna,
tapi semakin menjadi kusam.
Kurikulum 2013 yang merupakan
peninggalan kebijakan pendidikan era M. Nooh tetap berjalan, sampai
akhirnya kebijakan baru lewat menteri yang baru sedikit memberi harapan
pada awalnya, melalui penghentian pelaksanaan K13 di sebagian sekolah,
banyak pihak menyambut baik keputusan tersebut meski banyak juga yang
menyayangkan mengapa tidak dihentikan saja secara total, toh sudah cukup
terang benderang alasan-alasan yang menyebabkan K13 belum cukup layak
untuk diterapkan.
Mindset Pendidikan 2015
MENINGGALKAN kegelapan pendidikan pada 2015 ialah sebuah keharusan. Saya sepakat dengan Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, bahwa persoalan pendidikan terlalu banyak untuk diselesaikan dalam waktu yang singkat. Namun, setidaknya keyakinan untuk membangun mindset baru harus terus dilakukan karena sejatinya pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan setiap orang memiliki daya nalar yang kritis sekaligus karakter yang kuat. Jika mindset pendidikan kita sepanjang 2015 penuh dengan kegelisahan menyangkut kebijakan pendidikan yang kurang responsif mengikuti kehendak dan kemampuan masyarakat, harapan terhadap mindset perubahan pendidikan pada 2016 harus dimulai.Optimisme Pendidikan 2016
“Tanah
Air kita meminta korban. Dari di sinilah kita siap sedia memberi korban
yang sesuci-sucinya. Sungguh, korban dengan ragamu sendiri ialah korban
yang paling ringan. Memang awan tebal dan hitam menggantung di atas
kita. Akan tetapi, percayalah di baliknya masih ada matahari yang
bersembunyi. Kapan hujan turun dan udara menjadi bersih karenanya?”
(Ki Hadjar Dewantara).
Menguji Guru
Dalam khazanah pendidikan Islam ada ungkapan populer: ”Attariqah ahammu min al maddah. Al mudarrisu ahammu min attariqah. Wa ruhu al mudarrisu ahammu min al mudarrisu nafsihi”.
Terjemahannya: Metode lebih penting daripada materi/kurikulum. Guru
lebih penting daripada metode. Namun, roh/spirit guru jauh lebih penting
daripada guru itu sendiri.
Ungkapan di atas memberikan gambaran
tentang inti persoalan pendidikan, yaitu guru, dan menunjukkan dari mana
harusnya langkah peningkatan mutu dan kinerja guru dimulai. Pemerintah
berada pada jalan yang benar ketika hendak meningkatkan mutu pendidikan
nasional dengan menjadikan guru sebagai tenaga profesional. Melalui
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kualifikasi
dan kompetensi guru diobyektifkan. Perekonomian guru juga ditingkatkan
melalui tunjangan profesi bagi yang telah tersertifikasi. Namun, hampir
10 tahun kebijakan itu dijalankan, mutu dan kinerja guru tak kunjung
membaik.
Profesor dan Absurditas
Profesor sedang dicecar.
Surplus jumlah, defisit kualitas. Terlalu banyak profesor
prosedural-absurd. Dengan begitu, apakah mereka harus digugat. Nanti
dulu.
Mari bikin kasusnya lebih gamblang. Biar awam paham. Agar ihwal ilmu pengetahuan tidak melulu milik ”para penghuni langit”.
Profesor lomba
Begini. Saya punya teman dosen, doktor.
Tisna Sanjaya namanya. Selain dosen, Tisna adalah seniman kontemporer
kenamaan. Namanya tidak hanya dikenal di Asia, tetapi juga di dunia.
Karya-karyanya telah dipamerkan di sejumlah negara di dunia. Di
kampusnya, tentu saja, semua ilmunya ia ajarkan kepada mahasiswa. Tisna
bahkan pernah tercatat sebagai dosen teladan.
Pahlawan di Dalam Diri
Indonesia adalah cermin yang
retak. Elite negeri hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan
kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan.
Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak
yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan. Dalam
kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar adalah terjebak dalam
pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban (victim mindset), yang serba pasif menanti kedatangan juru selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar